Memperadabkan Bangsa vs Pengalaman Afrika Selatan

Prof. Dr. Hafid Abbas
(Mantan Ketua Komnas HAM RI)

Buku “Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia” (2022) sebagai kumpulan pemikiran cemerlang dari Tim Penulis yang digagas oleh Pontjo Sutowo, telihat memberi pesan bahwa: “Bangsa Indonesia bersyukur memiliki Pancasila sebagai idiologi dan modal budaya yang berhasil menyatukan berbagai perbedaan sehingga kemajemukan tidak menjadi sumber konflik, namun menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”

Pada bab dua buku Memartabatkan Bangsa, dikemukakan bahwa ketahanan peradaban suatu bangsa ditentukan oleh: (1) ranah mental-kultural (tata nilai), (2) ranah institusional-politikal (tata kelola), dan (3) ranah material-teknologikal (tata sejahtera). Ranah pertama kerap disebut sebagai ranah budaya, sedangkan ranah kedua dan ketiga disebut sebagai ranah peradaban.

Memang, sejarah peradaban umat manusia menunjukkan bahwa tidak satupun bangsa, negara atau peradaban di dunia yang terus-menerus maju, atau terus-menerus tertinggal. Setiap bangsa, setiap pradaban mempunyai arus pasang surut perjalanan sejarah masing-masing. Kerajaan Yunani, Romawi, Persia, Sriwijaya, Majapahit, Malaka, dan Inggeris juga mengalami hal yang sama. Ada fase-fase perjalanan peradaban suatu bangsa sangat maju dan ada pula fase bangsa itu tertinggal. Bahkan ada bangsa yang besar sekalipun yang hancur dan mengalami disintegrasi dan akhirnya hilang dari peta dunia. Lihatlah misalnya, Uni Soviet negara raksasa, negara adidaya, superpower, maju dan sejahtera, namun kini telah hilang dari peta dunia. Lihatlah Yogoslavia, yang juga negara cukup maju, damai dan sejahtera, namun juga kini telah pecah berkeping-keping menjadi beberapa kepingan rumpun bangsa.

Sebaliknya ada juga bangsa kecil, miskin, tidak mempunyai sumberdaya alam, bahkan tidak mempunyai sumber air minum, tetapi bisa menjadi bangsa rekasasa yang kaya dan menguasai peradaban umat manusia. Lihatlah misalnya Singapura yang ukuran geografisnya amat kecil, bahkan Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan, salah satu di antara 516 kabupaten/kota di Indonesia, terlihat 7 kali lebih besar dari negara itu, namun pada 2018 lalu, income per capita-nya diukur dengan purchasing power parity sudah mencapai USD 104.000 atau setiap warga Singapura sudah berpendapatan rata-rata Rp 134 juta sebulan, lihat pula Korea, Taiwan, dsb.

Lihat pula misalnya, satu bangsa yang serumpun, Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum reunifikasi, bagian barat terlihat amat maju dan sebaliknya di bagian timur. Begitu juga di Asia Timur dan Asia Selatan; misalnya Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan terlihat begitu maju dibanding dengan Bangladesh, India dan Pakistan yang terletak di selatan.

Indonesia sebagai negara besar, berpenduduk 274 juta jiwa (2022), keempat terbesar di dunia, memiliki tiga zona waktu dengan luas wilayah darat dan laut berkisar 8,2 juta km per segi atau dua kali lebih besar dari seluruh wilayah Uni Eropah yang hanya 4,1 juta km per segi setelah Inggeris keluar dari UE. Namun, negara ini diprediksi oleh Bank Dunia akan bubar karena ketahanan peradabannya terlihat lapuk (decay) baik di tata nilai, tata kelola, ataupun di tata kesejahteraannya.

Dalam publikasinya Indonesia’s Rising Divide (2016), Bank Dunia menunjukkan empat penyebab bubarnya Indonesia, yakni: Pertama, adanya ketidaksamaan pemberian kesempatan kepada setiap warga negara untuk mengembangkan kemapuannya untuk meningkatkan kesejahteraannya. Misalnya, ada pihak diberi kesempatan menguasai jutaan hektar lahan, sementara yang lain digusur dari tempat tinggalnya. Pada 2016 orang miskin di DKI Jakarta, misalnya, digusur sebanyak 193 kali setahun (Tempo, 13/04/2017).

Kedua, kelompok masyarakat miskin semakin tertinggal karena tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk bersaing dengan kelas masyarakat atas di sektor ekonomi modern. Kualitas pendidikannya amat rendah. Mereka hanya dapat diserap di sektor informal yang berupah amat rendah.

Ketiga, kosentrasi peredaran uang dan modal di negeri ini hanya berputar di beberapa orang atau beberapa perusahaan. Misalnya, terdapat 56.534.592 UMKM (99,99%) yang tidak tersentuh dengan bantuan perbankkan, not bankable (Data BUMN, 2019).

Keempat, orang miskin yang mayoritas ini tidak memiliki tabungan untuk membiayai pendidikan anak dan keturunannya, dan juga tidak memiliki tabungan untuk biaya kesehatan di hari tuanya.

Dengan gambaran itu, pandangan Prabowo Subianto kelihatannya cukup beralasan jika dikatakan Indonesia sudah tidak ada lagi pada 2030 (BBC, 24/03/2018).

Prediksi Bank Dunia dan pandangan Prabowo terlihat diperkuat oleh beragam data; antara lain: (1) semakin besarnya kesenjangan sosial atau jurang kaya-miskin di negeri ini, berada pada urutan keempat terburuk di dunia, setelah Rusia, India dan Thailand (Global Wealth Databook, 2016), sehingga kini, Indonesia termasuk sebagai negara termiskin ke-73 dari 195 negara di dunia (World Population Review, 2022); (2) Tata kelola pendidikannya dinilai terburuk di dunia, yang terbaik adalah Finlandia dan Korea Selatan (Firma Pendidikan Pearson, 2013); (3) distribusi penguasaan lahan kelihatannya Indonesia paling timpang di dunia, hanya beberapa korporasi besar yang menguasai sekitar 50 juta hektar atau 758 kali luas Jakarta, sehingga terlihat beberapa provinsi jika izin penguasaan lahan yang diberikan itu dijumlahkan maka terlihat sudah lebih luas dari seluruh dataran perovinsi itu karena ada pemberian konsesi yang tumpang tindih, lihat misalnya di Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, dsb (Kompas, 14 dan 15 Maret 2018).

Karenanya, tidaklah mengherankan jika hanya empat orang WNI, kekayaannya setara dengan kekayaan 100 juta WNI lainnya yang miskin. Kelihatannya negara perlu secepatnya hadir kembali mewujudkan sila peri kemanusiaan, dan peri keadilan dan melaksanakan secara sungguh-sungguh amanat Pasal 33 ayat 3 UUD NRI Tahuan 1945 yang menyebutkan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mencegah Disintegrasi Indonesia: Belajar dari Afrika Selatan

Buku “Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia”
amat jelas memperlihatkan bahwa peradaban Indonesia akan tetap tangguh jika tata nilai, tata kelola dan tata sejahtera tetap berpijak pada Pancasila. Negeri ini memang terlihat semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaannya yang tertulis pada pembukaan undang-undang dasarnya, dan semakin menjauh dari sila-sila pancasilanya, terutama pada sila: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, dan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Karenanya, untuk menghindar dari beragam ancaman disintegrasi, Indonesia dapat belajar dari Afrika Selatan.

Seperti halnya Indonesia, Afrika Selatan amat bhineka, memiliki penduduk dari beragam etnis dan suku bangsa. Mayoritas penduduknya adalah kalangan warga kulit hitam (black) dengan prosentasi 79,2%, sedangkan warga kulit putih (white) 8,9%, berwarna (colored) 8,9%, keturunan India atau Asia sebesar 2,5%, dan lainnya sekitar 0,5 pe%.

Potret kesenjangan sosial Afrika Selatan mirip sekali dengan keadaan Indonesia. Di era rezim Apartheid, seluruh lahan dan kekayaan alam Afrika Selatan seakan milik peribadi dari kelompok kecil warga kulit putih. Kekayaan yang diperoleh dari eksploitasi sumber kekayaan alam negeri itu juga dibawa keluar ke negeri asalnya di Eropah.

Data menunjukkan (Statistik 2013), warga kulit putih menguasai 72 persen tanah, kemudian disusul 15 persen dimiliki oleh warga kulit berwarna, 5 persen dari warga keturunan India dan Asia, sementara warga kulit hitam yang berjumlah 80 persen dari jumlah penduduk Afrika Selatan seluruhnya hanya menguasai 4 persen lahan, 3 persen lain dikuasai oleh beragam asal suku bangsa (lain-lain). Warga mayoritas seakan hanya dilahirkan untuk menonton penguasaan tanah airnya dari etnis pendatang.

Namun, untuk mengatasi dominasi penguasaan lahan dan sumber-sumber kekayaan alam Afrika Selatan yang terpusat di kalangan kelompok minoritas warga kulit putih, Afrika Selatan pada 1998, memberlakukan “Undang-undang Pemerataan” sebagai Omnibus Law-nya (Employment Equity Act No. 55 of 1998) untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan bagi warga penduduk asli mayoritas berkulit hitam.

Selanjutnya pada 2003, Afrika Selatan kembali lagi mengundangkan undang-undang pemberdayaan ekonomi secara meluas bagi warga kulit hitam yang disebutnya, “the Broad-Based Black Economic Empowerment (B-BBEE No. 53 of 2003). Tujuannya adalah untuk meningkatkan dan mempercepat transformasi dan partisipasi ekonomi dan kesejahteraan bagi warga kulit hitam.

Karenanya, tidak ada salahnya, jika Indonesia dapat memetik pengalaman Afrika Selatan dengan segera membuat Undang-undang Pemertaan (Equity Act) dan Undang-undang Pemberdayaan Masyarakat Miskin dengan mengembalikan hak-hak penguasaan lahannya kepada mereka dan membebaskan mereka dari segala bentuk diskriminasi.

Buku “Memperadabkan Indonesia” mengingatkan: Bukankah kita menjadi sebuah bangsa berdaulat bernama Indonesia sejak 77 tahun silan dengan sebuah ikhtiar Negara akan hadir untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.