Efek Domino Amandemen UUD 1945

Oleh: Prof. Dr. Hamka Haq.

Pada tulisan yang lalu, “Menyesal di Hulu, Jangan Marah di Muara”, penulis mengungkapkan dampak ditiadakannya GBHN pasca amandemen UUD 1945 serta berubahnya kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi, sederajat dengan Presiden. 

Seiring dengan itu, pada uraian kali ini penulis mencoba mengemukakan terjadinya efek domino yang dapat merusak tatanan demokrasi kita dari demokrasi tertuntun oleh Pancasila menjadi demokrasi liberal, kapitalis dan transaksional.

Setelah Presiden dinyatakan dipilih langsung oleh rakyat, yang memang seharusnya seperti itu, muncul dampak sampingan baru yang sifatnya negatif. 

Yakni semua bentuk pemilihan dilakukan secara terbuka dan langsung oleh rakyat. 

Pemilihan Kepala Daerah, misalnya, yang dalam UUD 1945 pasca amandemen, dinyatakan dipilih secara demokratis. Tidak dinyatakana dipilih secara langsung oleh rakyat, namun kalimat “demokratis” dipahami harus dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya pemilihan Presiden, padahal pemilihan secara demokratis tidak mengharuskan secara langsung. 

Pemilihan secara demokratis dapat pula dilakukan secara musyawarah dalam badan perwakilan, yakni DPRD Propinsi atau DPRD Kabupaten-Kota yang sejatinya merupakan hasil pemilihan langsung oleh rakyat sebelumnya.

Dampak Pemilu Langsung

Dampak pemilihan Kepala Daerah secara langsung membuat sebagian Kepala Daerah merasa tidak lagi diangkat oleh Presiden, karena Presiden hanya menerbitkan SK pengesahannya. 

Ibaratnya, Presiden hanya menjadi tukang stempel.  Mereka merasa diangkat oleh rakyat (konstituen) nya sendiri, disertai visi-misi yang disusunnya sendiri bersama konsultan politiknya. 

Tidak ada jaminan bahwa visi-misi seorang Kepala Daerah harus sama dan searah dengan Visi-Misi Presiden, dan atau Visi-Misi Kepala Daerah di atasnya. 

Akibatnya seorang Gubernur, Bupati atau Walikota merasa berhak mengoreksi kebijakan Presiden, jika memandang tidak sejalan dengan Visi-Misinya sendiri yang pernah ditawarkan kepada konstituennya.  

Apalagi jika partai pengusungnya berbeda dengan partai pengusung Presiden.

Baru diera Reformasi-lah ada Gubernur yang merasa tidak wajib menjemput Presiden yang berkunjung ke daerahnya atau ada Bupati yang merasa tidak wajib memenuhi sendiri undangan rapat kordinasi Gubernur dan hanya diwakili kepada dinasnya. Kejadian seperti ini tidak pernah didengar di era sebelum reformasi. 

Dahulu, sebelum reformasi, Gubernur dan Bupati, Walikota dipilih oleh DPRD setingkatnya, dan pencalonannya ditentukan oleh Presiden dengan syarat-syarat kedisiplinan yang ketat. 

Termasuk ketaatan pada PP No. 10 tentang larangan berpoligami bagi PNS dan pejabat negara.  Maka waktu itu, dapat saja seorang calon Bupati pada tahun 80-an, terpilih oleh DPRD setempat, dibatalkan pelantikannya oleh Presiden karena belakangan ketahuan punya isteri simpanan.

Otonomi Daerah

Sementara itu, sistem Otonomi Daerah berdasarkan Tap MPR no. XV Tahun 1998 dan turunannya, UU nomor 22 Tahun 1999, sebagian Kepala Daerah menyalah-gunakannya. 

Sistem Otonomi Daerah pada dasarnya dimaksudkan sebagai upaya pemerataan kesejahreraan pada rakyat di daerah-daerah, dengan melimpahkan sebahagian kekuasaan pemerintah pusat (sentralisasi) kepada pemerintah daerah (desentralisasi) untuk mengatur dan membangun daerahnya sesuai dengan potensi masing-masing. 

Ternyata, tujuan luhur tersebut tidak tercapai akibat munculnya raja-raja kecil Kepala Daerah yang berkolabirasi dengan pebisnis setempat. 

Dampaknya ialah terjadi penyalah-gunaan kewenangan yang pada gilirannya melahirkan korupsi berjamaah.  Maka terdengarlah ada Gubernur bersama sejumlah anggota DPRD-nya terkena OTT berjamaah. 

Demikian pula halnya, ada Bupati atau Walikota yang terkena OTT berjamaah, bersama sejumlah anggota DPRD nya, walaupun tidak semuanya.  Bahkan menurut rilis Liputan Enam, hingga tahun 2021, tercatat sebanyak 22 Gubernur dan 122 Bupati/Walikota yang korup terjaring KPK dan atau Kejaksaan.  Yang lebih mengenaskan, ialah tega-teganya seorang Gubernur menggunakan Dana Otsus atau APBD nya untuk memenuhi hasratnya berjudi on line.

Belum lagi kita bicara terjadinya kegaduhan ditingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), pasca pemilihan Kepala Daerah. 

Biasanya Kepala Daerah yang baru terpilih merombak susunan SKPD nya, mengangkat pejabat baru dari kalangan tim suksesnya dalam Pilkada, dan menon-job-kan pejabata lama yang tidak loyal padanya selama proses Pilkada itu. 

Hal ini biasa dilakukan guna mengamankan selanjutnya kebijakan-kebijakan Kepala Daerah yang bersangkutan, sesuai keinginannya melakukan penyalah gunaan anggaran, sebagai persiapan membayar kost pilkadanya.

Liberalisasi Pileg

Sementaa itu lahir pula ketentuan sistem pemilihan suara terbanyak sebagai bentuk liberalisasi pemilihan legislatif. 

Sistem ini berlaku berdasarkan Putusan MK yang mengabulkan uji materi atas pasal 214 UU No. 10/2008.  

Sejak berlakunya sistem suara terbanyak pada pemilu legislatif, sadar atau tidak, pada gilirannya melahirkan prinsip kapitalisme. 

Bahwa siapa yang kuat modal (capital) dialah yang mampu membeli suara rakyat sebanyak-banyaknya untuk meraih kemenangan.  Dalam keadaan seperti itu, partai kehilangan kedaulatan, menjadi tidak lebih kendaraan mati bagi politisi kapitalis. 

Partai tidak dapat menjamin kadernya untuk mewakilinya di DPR RI, atau di DPRD, sebab ia dibajak oleh pendatang baru di partai, yang walaupun baru seminggu memegang KTA.

Dampaknya, partai yang diamanahkan oleh Undang-Undang untuk menjadi lembaga politik guna melahirkan kader-kader pemimpin ideologis untuk bangsa, gagal total. 

Baik dalam Pilkada, mupun dalam Pemilu Legislatif, demi meraih kemenangan partai terpaksa merekomendasi kandidat yang kuat modal, walaupun bukan kadernya sendiri.  

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa seorang tokoh yang siap maju dalam pilkada, kadang membeli sejumlah partai guna mencukupi jumlah anggota DPRD yang menjadi syarat pencalonan.  Apalagi jika partai-partai itu sendiri tidak punya kader yang mumpuni dan kuat modal.  Maka selanjutnya lahirlah demokrasi transaksional, sebagai cerminan liberalisme kapitalis.  

Berdasarkan sejumlah dampai negatif tersebut di atas, yang penulis sebut sebagai efek domino, karena lahir secara beruntun tanpa diprediksi seblumnya, maka sebagian anggota dalam Komisi Kajian Ketatanegaran (K3) MPR RI 2019-2024, mengusulkan kiranya dilakukan evaluasi terbatas atas Reformasi. 

Bukan berarti membatalkan hasil-hasil positif dari Reformasi itu sendiri, melainkan guna lebih mengarahkan agar Reformasi yang bertujuan mewujudkan kehidupan demokrasi secara sehat berdasarkan Pancasila dapat tercapai secara maksimal.  Wallahu A’lam bil- Showabi.