Aroma Politis Dibalik Judicial Review Usia Capres dan Cawapres Jelang Pilpres 2024

Mahkamah Konstuitusi (MK) belkangan menjadi lembaga yang diperbicangkan dan mendapatkan sorotan tajam dari dikalangan para politisi dan pengamat hukum. MK beberapa kali menggelar sidang terkait uji materiil (judicial reviuw) Undang-Undang Pemilu tentang batas usia Capres-Cawapres.

Tidak heran jika ada beberapa pihak berpandangan bahwa uji materiil UU Pemilu tentang batas umur kentl dengan aroma politis demi memuluskan agenda pencalonan sesorang atau demi kepentingan mempertahankan kekuasaan bagi kelompok tertentu. 

Politik Dibalik Judicial Review

Semangat politik dan multitafsir terhadap nilai-nilai demokrasi dan undang-undang membuat sejumlah orang dan sekelompok orang menilai perlu adanya perubahan didalam batas minimum usia capres dan cawapres.

Salah satu upaya yaitu dengan melakukan judicial review di mahkamah konstitusi terhadap Pasal 169 huruf q undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang pemilu.

Sebelumnya pasal ini merupakan landasan hukum dalam menentukan ambang batas usia terhadap mereka yang menginginkan masuk dalam bursa capres dan cawapres serta menjadi syarat mutlak.

Akan tetapi syarat ini dianggap oleh orang atau sekelompok orang yang menginginkan batasan tersebut agar tidak lagi menjadi batas minimum dan berharap supaya menghapus atau dibatalkan karena dianggap diskriminasi.

Hasrat politik dalam judicial review terhadap batasan usia tersebut terlihat pada adanya kehendak yang diajukan oleh pemohon yang menginginkan supaya mahkamah konstitusi merubahnya ketentuan undang-undag tersebut dengan batas usia minimum 35 tahun yang sebelumnya 40 tahun.

Permohonan oleh pemohon pengujian ini dinilai oleh sekelompok masyarakat tertentu bahwa Permohonan tersebut sangat syarat dengan kepentigan politik elit serta lebih besar hasrat politik yang berusaha untuk memaksakan kehendak ingin menggoalkan salah satu capres-cawapres tertentu. hal ini dianggap menciderai semangat pengujian undang-undang tersebut.

MK Bukan Pembuat Undang-Undang

Adanya permohonan terhadap judicial review mestinya para penguji /atau pemohon tidak mengarahkan pada perubahan undang-undang atau tambal sulam norma.

Perubahan suatu norma mestinya bukan di mohonkan pada lembaga mahkamah konstitusi melainkan harus diajukan atau mendesak kepada lembaga eksekutif (presiden) yang memiliki peran penting dalam pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai fungsi legislatif yang dimiliki oleh Lembaga tersebut.

Fungsi ini tercermin pada Pasal 5 ayat (1) undang-undang dasar 1945 bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang- undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Fungsi yang serupa juga dimiliki oleh Lembaga legislative sebagaimana diatur pada pasal 21 ayat (1) bahwa Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang.

Artinya apabila dilihat dari fungsi tersebut kedua Lembaga inilah yang memiliki kewenangan didalam pembuatan undang-undang atau membuat norma bukan mahkamah konstitusi.

Kewenangan MK

Mahkamah konstitusi merupakan suatu lembaga yang salah satunya memiliki wewenang untuk menguji (judicial review) undang-undang terhadap undang-undang dasar 1945.

Pengujian ini merupakan legal formal sebagai upaya menilai proses pembuatan undang-undang (aspek formal) dan terhadap muatan materi dalam undang-undang dengan undang dasar 1945 (Aspek materiil).

Mahkamah konstitusi pada prinsipnya memiliki batas kewenangan tertentu, dan kewenangan tersebut terlihat dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945

antara lain : menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu.

Artinya mahkamah konstitusi dalam memeriksa dan memutus perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-undang dasar 1945 tidak dibenarkan melampaui kewenangan yaitu berusaha untuk menambah atau membuat norma baru dalam putusan tersebut.

Hal ini merujuk pada pendapat Jimly Asshiddiqie bahwa kewenangan Mahkamah konstitusi (MK) hanya terbatas pada membatalkan norma di mana MK sebagai negative legislator, bukan positive legislator.

Oleh : Ahmadin (Aktivis Universitas Bung Karno Jakarta)