Indonesia dan Singapura Tandatangani Perjanjian Ekstradisi, Berlaku Surut 18 Tahun

Pemerintah Indonesia dan Singapura menandatangani perjanjian ekstradisi di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (25/01/2021).

Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) RI Yasonna H. Laoly dan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum Singapura K. Shanmugam serta disaksikan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong.

Menkumham Yasonna Laoly menjelaskan, perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif (berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya) selama 18 tahun ke belakang.

Hal tersebut sesuai dengan ketentuan maksimal daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

“Selain masa rektroaktif, Perjanjian Ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan. Hal ini untuk mencegah privilege yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya,” ujar Yasonna usai penandatanganan.

Jenis-jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi menurut Perjanjian Ekstradisi ini berjumlah 31 jenis, di antaranya tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotika, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.

“Indonesia juga berhasil meyakinkan Singapura untuk menyepakati perjanjian ekstradisi yang bersifat progresif, fleksibel, dan antisipatif terhadap perkembangan, bentuk dan modus tindak pidana saat ini dan di masa depan. Perjanjian ekstradisi Indonesia–Singapura memungkinkan kedua negara melakukan ekstradisi terhadap pelaku tindak pidana yang meskipun jenis tindak pidananya tidak lugas disebutkan dalam perjanjian ini namun telah diatur dalam sistem hukum kedua negara,” terangnya.

Yasonna menjelaskan, ruang lingkup perjanjian ekstradisi Indonesia–Singapura adalah kedua negara sepakat untuk melakukan ekstradisi bagi setiap orang yang ditemukan berada di wilayah negara diminta dan dicari oleh negara peminta untuk penuntutan atau persidangan atau pelaksanaan hukuman untuk tindak pidana yang dapat diekstradisi.

“Perjanjian ekstradisi ini akan menciptakan efek gentar (deterrence) bagi pelaku tindak pidana di Indonesia dan Singapura,” ujarnya.

Selain itu, sambung Menkumham, perjanjian ekstradisi Indonesia–Singapura ini akan mempersempit ruang gerak pelaku tindak pidana di Indonesia dalam melarikan diri.

Pasalnya, Indonesia telah memiliki perjanjian dengan negara mitra sekawasan di antaranya Malaysia, Thailand, Filipina, Vietnam, Australia, Republik Korea, Republik Rakyat Tiongkok, dan Hong Kong SAR.

Secara khusus, bagi Indonesia, pemberlakuan perjanjian ekstradisi dapat menjangkau secara efektif pelaku kejahatan di masa lampau dan memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. (*)