Menyoal Pendekatan Islam Revisionis

Oleh: Ilham Mushariawan (Sekum ICMI Muda Kaltara)

Problem metodologis utama yang tampaknya menimpa para peneliti yang belakangan banyak memperkenalkan pendekatan historiografi kritis dalam studi Islam — sebutlah seperti Fu’ad Jabali, Mun’im Sirry — adalah ambiguitas pada penyikapan mereka atas teks-teks ulama Salaf. 

Di satu sisi, mereka memperlakukan teks-teks itu sebagai sumber primer penelitian mereka, yang berharga karena memuat informasi penting mengenai topik yang dikaji. Sumber primer sebagai dokumen sejarah, tepatnya. 

Di sisi lain, mereka terkesan memperlakukan para penulis teks-teks itu (ulama Salaf) sebagai sekadar penulis, yang tidak punya kesempatan untuk membela diri di hadapan kritik sarjana Orientalis modern.

Bahkan terkadang ada kesan kuat, para ulama Salaf itu cenderung dipotret “kurang berintegritas” karena meriwayatkan kisah-kisah yang “meragukan”, kontradiktif, atau bias.

Tentu menurut kacamata kritik historiografi ini, seperti saat kita membaca analisis Mun’im Sirry mengenai Imam Ibn Hisyam dengan “Sirah Nabawiyyah”-nya. Buku “Kontroversi Islam Awal” Sirry setidaknya memberi contoh, bagaimana Ibn Hisyam dihakimi dengan sangat gencar melalui sudut pandang Patricia Crone atau sarjana (peneliti) lain yang disebut mewakili mazhab “revisionis”. 

Penulis tidak berpretensi menganggap kritik itu sepenuhnya salah, karena butuh studi tersendiri atas pandangan kaum “revisionis” tersebut.

Setidaknya, Sirry juga cukup menyadari risiko terjebak dalam revisionisme yang “ekstrem”. Ia juga mengakui kontribusi “mazhab tradisionalis” (untuk enggan menyebutnya dengan kaum Salaf), tapi persis kontribusi itu tak lebih dari lingkup menyediakan “fakta-fakta historis” yang dibutuhkan oleh studi semacam ini!

Di sini kira-kira letak masalahnya. Teks ulama Salaf sekadar menjadi bahan mentah untuk dikritik bagi pendekatan historiografis ini. Tidak lebih dan tidak kurang.

Positivisme

Tanpa disadari, sebenarnya yang kita saksikan dari fenomena ini adalah positivisme itu sendiri. Disebut “positivisme”, karena melihat teks hanya sebagai informan yang dilepaskan dari tradisi yang melahirkannya. Teks ulama Salaf hanya diperlukan sebagai sumber data. Ibarat tambang, hanya sebagai lahan buat ditambang. Tak lebih dan tak kurang. Agak “sadis”, mungkin.

Ini fenomena yang menarik ditandai, karena positivisme semacam ini persis merupakan kebalikan dari fenomena yang beberapa tahun lalu demam di kampus-kampus Islam negeri: demam hermeneutika. Hermeneutika memperlakukan teks integral dengan konteks, positivisme ala Sirry ini mengamputasi teks dari konteks. 

Satu kritik yang mungkin ganjil dan banyak diabaikan oleh pendekatan ini adalah konteks tradisi lisan. Sirry menjustifikasi bahwa sumber-sumber ulama Salaf tentang Sirah Nabi ditulis kira-kira dua abad setelah kewafatan Rasulullah (shallallahu alaihi wa sallam). Tersirat, ada alasan untuk meragukan kevalidan sumber-sumber itu. Dilupakan, teks-teks itu hidup dalam rahim tradisi lisan dan ingatan yang diwariskan turun-temurun. Tradisi lisan ini, meski tidak semuanya tidak terakses hari ini (setidaknya kalau kita ingat bahwa banyak tulisan atau naskah dari para Sahabat dan Tabi’in hilang dan tidak lagi diketahui rimbanya), justru menegaskan bahwa teks-teks itu tidak terputus oleh rentang historis sampai era Nabi. Positivisme ini luput menangkap budaya yang berdenyut di dalam tradisi Salaf itu sendiri, hanya karena tradisi (lisan) itu tidak memiliki rekam naskah yang hari ini bisa diakses.

Ternyata, di balik kritisisme sarjana Islam pro-revisionis semacam ini, mengendap positivisme. Suatu positivisme sejarah atas nama pencarian kebenaran sejarah!

Sementara itu, kurang tepat juga perilaku sebagian saudara kita sesama Muslim, khususnya dari kalangan santri, yang kerap memperlakukan semua yang ditulis generasi Salaf mengenai sejarah sebagai teks yang sudah tidak perlu lagi dikaji secara kritis, analitis, dan intertekstual. Sikap yang menerima semuanya sebagai sakral dan cukup “diimani”. Sementara, berbicara sejarah, sejarah ada pertama-tama bukan untuk diimani, tapi dikaji dan di-“i’tibar” (dianalisis untuk kemudian ditemukan acuannya yang berharga bagi kekinian).

Masalahnya muncul ketika sejarah itu menyangkut figur-figur yang ditakzimi, yaitu Nabi atau para Sahabat. Antara beriman dan bernalar terkesan tampil bertentangan, manakala riwayat itu berbeda-beda. Benarkah kesan itu?

Pendekatan sarjana seperti Sirry mengklaim perlunya “memisahkan antara keimanan dan objek kajian”. Artinya, jangan percayai dulu riwayat yang kita terima selagi kita mengkajinya. Sebagai langkah awal bagus, tapi ketika sikap ini dipertahankan terus-menerus tanpa konklusi, bisa jadi imannya keburu luntur dan akhirnya mendorong kekufuran. Na’udzubillah!

Pendekatan kaum santri pro-Salaf tulen (Salafi): imani dulu baru dipelajari dan dikaji. Dan apapun yang tidak dimengerti, cukup diimani saja. Kesampingkan pendekatan Akal (rasional-kritis) ketika berurusan dengan Ilmu Riwayat.

Bagaimana mengatasi kebuntuan ini? Cara terbaik tetap memadukan antara pendekatan kritis dengan keimanan secara simultan pada saat (at the very moment) mengkaji teks-teks itu. 

Keimanan membuahkan adab, keimanan membuahkan akhlak. Hal ini yang luput dilakukan kaum revisionis, karena menganggap keimanan dan sikap penghormatan kepada generasi Salaf sebagai hambatan dalam mengkaji secara kritis. 

Di sisi lain, keimanan dan akhlak yang sangat luhur dari para santri dan ulama pembaca karya generasi Salaf (yang dicap Sirry sebagai “ortodoksi”) kerap menabukan orang mendiskusikan sejarah. Paling jauh, lahir sikap “mauquf” (abstain dan tidak bersikap), tidak “berani” mengajukan pendapat sendiri. Seperti kebanyakan sikap ulama yang “sukut” (diam secara sadar) mengenai perselisihan antara ‘Ali r.a. dan Mu’awiyah r.a., serta berbagai konflik besar sejarah Islam lainnya.

Sikap abstain ini secara tidak langsung mengekalkan sikap apolitis di kalangan umat. Kita melihat, misalnya, “sukut”-nya mayoritas kalangan pesantren selama ini, misalnya, terhadap peristiwa ’65, karena menganggap hal itu tabu.

Tradisi Kritis Ulama Hadis

Cara terbaik memadukan keimanan dan pendekatan kritis adalah dengan kembali kepada semangat tradisi kritik di kalangan ulama Hadits sendiri, yang berporos dalam dua hal: kritik person (jarh wat-ta’diil) dan kritik konten (naqd al-matn). 

Masalahnya, bagaimana dengan para Sahabat (radhiyallahu ‘anhum)? Para Sahabat, dalam literatur ulama Salaf, jelas bukan sasaran dari kritik person, sehingga beliau-beliau dianggap “tsiqoh dan ‘uduul”, dalam pengertian tidak mungkin berbohong. Masalahnya ada di rantai periwayatan pasca-Sahabat.

Tapi kenyataan bahwa para Sahabat bersifat “tsiqoh dan ‘uduul” tidak menafikan kemungkinan-kemungkinan manusiawi bahwa pada satu kesempatan, salah satu di antara beliau berbuat kesalahan (manusiawi), yang bisa dianalisis secara kritis dan historis.

Kesalahan, dalam arti “kekurangbijakan” (‘adam al-ishobah) atau “malpraktik” (kekurangtepatan dalam mengambil keputusan, yang manusiawi belaka). Sebagai contoh, kekurangbijakan Sayyidina ‘Utsman r.a. dalam hal keputusannya mengistimewakan Bani Umayyah daripada Bani Hasyim dalam distribusi kekuasaan di era kekhalifahannya. Ini contoh kritik historis yang mungkin, tanpa mencederai penghormatan kepada kemuliaan dan integritas para Sahabat.

Kritik konten tentu lebih mudah untuk dilakukan secara rasional. Hadits yang kontennya bertentangan dengan nash yang jelas dari Al-Qur’an atau akal sehat, atau sendi-sendi ajaran Islam yang pokok, bisa dipastikan ditolak. Kritik konten adalah wilayah bagi analisis wacana, dekonstruksi, hermeneutik, atau ilmu-ilmu humaniora lainnya, sebagaimana wilayah bagi Ushul Fiqh, Tasawuf, Balaghah, Badi’, Bayan, dan lain-lain.

Pemaduan ini setidaknya akan melahirkan pengkaji Islam yang “berotak Jerman, berakhlak Yaman”. Tak perlu seperti sikap doktor Fu’ad Jabali, yang dalam bukunya, “Sahabat Nabi: Siapa, Ke Mana, Bagaimana?”, menyebut Rasulullah (shallallahu ‘alaihi wa sallam) sebagai “dia”, alih-alih “beliau”. Sekadar (apa sulitnya!) menunjukkan penghormatan dan kecintaan kepada figur-figur yang dikajinya.